Counting Blessings: Can You? #1

Saya tidak pernah naik KRL Jabodetabek selama saya hidup. Naik KRL itu kan menyeramkan, kotor, banyak copetnya. Orang-orang di dalam kereta kan serem-serem semua, liar-liar begitu kan. Naik kereta itu tidak enak, penuh sesak, dan harus mencium keringat orang-orang. Hiiii.. Lalu, kalau salah naik bagaimana? Kalau saya salah turun stasiun bagaimana? Terus bedanya kereta yang ada di jalur 1, jalur 2, jalur 3 itu apa? Ah, bingung. Saya tidak pernah naik KRL karena memang tidak pernah dapat kesempatan untuk menaikinya. Dulu, untuk bepergian, saya dan keluarga biasa menggunakan mobil pribadi. Tidak pernah ada alternatif naik KRL dalam kamus saya. Simply because I’m not used to it.  Jika saya harus bepergian ke suatu tempat yang belum saya ketahui sendiri, saya biasa naik angkutan umum, bus, atau metromini. Saya baru pernah naik KRL Jabodetabek ketika duduk di bangku kuliah. Bukan sebagai sarana transportasi dari rumah ke kampus, mengingat rumah saya cukup dekat dengan kampus. KRL pertama yang saya naiki adalah KRL Ekonomi AC ke Bogor ketika saya melakukan perjalanan naik gunung dan harus turun di Stasiun Bogor. That was the first and I was so excited. Karena rasanya seperti ‘wah, gue naik kereta. Keren ya. Terlihat tough sekali, mandiri. Hihii.’

Saat itu kami berangkat beramai-ramai dan ada satu orang teman yang membelikan tiket untuk satu rombongan, jadi saya hanya tinggal mengikuti yang lain saja. Kalau yang lain ke kanan, ya saya ke kanan. Kan saya tidak tahu jalan. Hal-hal macam itu terus berlangsung beberapa kali, sehingga saya hanya benar-benar tahu rasanya naik kereta, menjejakkan kaki dan duduk di dalamnya. Nah, saya tidak pernah merasakan bagaimana mengantri di depan loket, membeli tiket dan menyebutkan jenis KRL serta stasiun yang saya tuju, jalan menuju jalur yang ditentukan, dan menunggu kereta. Saya hanya ikut-ikutan saja. Mungkin semua proses tersebut terasa biasa saja untuk teman-teman yang biasa naik kereta, tapi bagi saya itu semua bikin deg-degan. Karena itu semua tentang keberanian mencoba sesuatu yang baru bagi saya. That’s why I take that as a big thing. Saya bahkan baru tahu bahwa di Stasiun UI jalurnya dibagi menjadi dua, satu jalur ke arah Jakarta Kota dan satu jalur lagi ke arah Bogor. Jadi, jika kita ingin ke Bogor kita harus menunggu di jalur ini, dan jika ingin mengarah ke Jakarta Kota, kita harus menunggu di jalur satunya lagi. Ya, saya baru tahu lho itu.

Nah akhirnya, singkat cerita, suatu saat saya diharuskan untuk pergi ke suatu tempat yang lebih praktis dijangkau dengan kereta, saat itu masih beramai-ramai dengan teman-teman, namun saya diam-diam belajar bagaimana triknya dan mulai terbiasa. Saya senang sekali. Saya sering menghafal nama stasiun-stasiun dan urutannya dan mencatatnya di HP saya, jadi jika suatu saat saya harus pergi sendiri saya sudah punya catatan. I kinda like it 🙂

Saya juga senang mengamati orang-orang di dalam kereta. Kalau naik kereta ekonomi, saya sering mengamati orang-orang yang bepergian untuk mencari nafkah dengan alat transportasi ini. Orang-orang yang mencari nafkah di tempat yang jauh dari rumah, dan memilih naik kereta ekonomi (mungkin) karena harga tiketnya yang sangat murah. Saya juga senang membeli jepitan, ikat rambut, dan peniti yang dijajakan di dalam kereta, harganya lebih murah dari yang dijual di dekat kampus. Entah kenapa ada kepuasan tersendiri setelah membeli sesuatu di kereta. Oh ya, akhirnya setelah sekian lama selalu berperan sebagai buntut alias hanya bisa ikut-ikut teman ketika naik kereta, saya mendapat kesempatan untuk naik kereta SENDIRI! Ya, saya sedang berada di Bogor bersama seorang teman. Awalnya ia bilang ia akan kembali ke Depok, sehingga saya saat itu tenang-tenang saja ‘asik, ada yang nemenin ke Depok. Takut deh  pulang naik kereta sendiri.’ Akan tetapi, rencana berubah. Teman saya tidak jadi ke Depok dan saya harus pulang naik kereta sendiri dari Stasiun Bogor.  Saya deg-degan takut nyasar tapi sekaligus bangga karena akan naik kereta sendiri (baca: membeli tiket dan menunggu kereta). Akhirnya, hari itu, tanggal 22 Maret 2011 adalah tanggal bersejarah dalam hidup saya: Saya naik kereta sendiri! Saya membeli tiket kereta ekonomi AC, bertanya kepada petugas di jalur berapa keretanya berhenti, dan pak Petugas bilang ‘kalau nggak di jalur 3, ya jalur 4, Mbak.’ Oke, saya masuk ke dalam stasiun dan berpikir ‘yang mana nih jalur 3 sama 4? Ngitung jalur 1-nya mulai dari mana nih? Banyak banget jalurnya. Nah, akhirnya sayup-sayup terdengar pemberitahuan bahwa kereta yang saya naiki berhenti di jalur 4. Saya pun bertanya kepada seorang petugas dimana letak jalur 4, masuk ke dalam kereta, mendapat tempat duduk, menunggu sebentar, dan berangkat!

Di perjalanan saya sudah menghafalkan stasiun-stasiun yang akan dilewati sampai saya turun di Stasiun UI. Bogor-Cilebut-Bojong-Citayam-Depok-Depok Baru-Pocin-UI. Terus saya hafalkan berkali-kali. Saya tidak berani tidur, karena takut salah turunnya nanti. Dan akhirnya, setelah perjalanan selama kurang lebih 30-35 menit, saya sampai di Stasiun UI dengan selamat! YEEEESSS! Saya super duper senang!

Naik kereta sendiri untuk saya bukan hanya tentang perasaan senang karena akhirnya pernah mempunyai pengalaman naik kereta yang bisa diceritakan ke teman-teman–memiliki keberanian untuk naik kereta sendiri adalah tentang bagaimana saya mau mencoba sesuatu yang saya takuti pada awalnya, melawan ketakutan dan kekhawatiran sendiri akan kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi (salah naik kereta, salah turun stasiun, salah arah, dan lain sebagainya), serta memiliki keberanian untuk bertanya jika saya tidak tahu.

Jadi, Counting Blessings versi saya kali ini adalah: saya berhasil naik kereta sendiri. Bagaimana dengan kamu? 🙂

Leave a comment